Pada zaman sekarang, perempuan bekerja sudah sangatlah umum. Bahkan yang sudah menyandang gelar istri dan ibu pun banyak yang berkecimpung di luar rumah. Entah bisnis, menjadi karyawan perusahaan, pegawai pemerintah, guru, sampai menjadi pekerja-pekerja kasar. Menurut saya, tidak ada yang salah dengan keputusan beliau-beliau untuk memilih bekerja di luar rumah (selama tetap memperhatikan kodratnya sebagai perempuan, mengikuti syariat Islam, dan masih mampu melaksanakan kewajiban sebagai istri dan ibu yang baik).
Pada
suatu siang yang terik, saya keluar dari tempat parkir masjid kemudian melihat
ibu-ibu dengan kulit muka yang kusam, memakai topi usang untuk sedikit
berlindung dari sinar matahari yang menyengat, mata yang berusaha
menyipit-nyipit melawan cahaya, sedang berusaha menarik-narik lengan bajunya
untuk menutupi seluruh tangannya. Di
sekelilingnya adalah mobil-mboil mewah berjejer dan sepeda motor yang tertata
rapi berkat kerja kerasnya. Sesekali mengusap peluh keringatnya ketika
mengarahkan orang berkendara agar parkir dengan benar.
Memang
saat itu Surabaya benar-benar panas. Saya segera memakai sarung tangan dan
kacamata hitam, kemudian berlalu melewati ibu tukang parkir tersebut. Sepanjang
jalan saya kepikiran dengan ibu tukang parkir tadi, pasti ada alasan di balik
keputusannya bekerja. Bahkan bekerja kasar sekali pun. Barang kali suaminya
sakit. Barangkali dia janda. Barangkali penghasilan suami kurang untuk membayar
listrik. Semoga kerja kerasmu bernilai ibadah ya, Bu. Batin saya di perjalanan.
Di
lain kesempatan, saya juga pernah memperhatikan ibu-ibu lain yang bekerja dengan
baju kerja yang sangat rapi. Wajah cerah dan segar. Pagi-pagi sudah rajin
datang ke kantor bekerja hingga sore hari. Ditambah perjalanan yang terkadang
macet menyebabkan sampai rumah hari sudah gelap. Saya sempat berpikir, ibu-ibu
karir seperti itu jam berapa ya kalau bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dan
lain sebagainya untuk anak-anak dan suami. Kalau pulang apakah masih ada tenaga
untuk bermain-main dengan anak? Kembali saya berpikir, pasti ada alasan hingga
beliau memutuskan untuk menghabiskan harinya dari pagi hingga sore di kantor. Pernah
pula bertemu dengan seorang ibu yang aktif di dunia politik. Beliau berkata
bahwa dia sudah ‘menyelesaikan’ tugasnya di rumah. Anaknya sudah besar-besar. Dan
suaminya sangat mendukungnya. Waktunya sangat banyak di luar rumah dan
bermanfaat.
Ada
pula ibu-ibu yang bukan pekerja, tetapi sangat aktif di dalam kegiatan sosial. Atau
hanya hangout dengan teman-temannya. Asyik
‘memanfaatkan’ jatah bulanan dari suami mereka. Terlihat begitu menyenangkan. Belanja.
Kumpul. Jalan-jalan. Tidak ada yang salah pula dengan kegiatan mereka, selama yang
ibu-ibu lakukan tidak melanggar syariat Islam dan mendapat ridlo dari suami
mereka, pikir saya.
Hingga
suatu hari saya melihat ibu saya mencuci piring di dapur. Sejenak saya
perhatikan wajahnya yang tenang. Terlihat ketulusannya membersihkan bekas-bekas
makanan. Lalu saya mendekat dan bertanya, “Buk, nggak bosan di dapur terus?”.
Saya kira ibu akan menjawab “kadang-kadang bosan”, ternyata Ibu saya menjawab
“enggak”, dengan senyum.
Alhamdulillah….batin
saya. Ibu selalu bersyukur dan menikmati hidupnya dengan sebaik-baiknya. Wajahnya
awet muda. Meskipun tidak pernah perawatan di salon. Tidak pernah memakai cream
macam-macam. Busana ya itu itu aja. Selalu rapi. Dan yang terpenting, selalu
Qanaah.
Dan
saya, SANGAT TIDAK SUKA JIKA PULANG KE RUMAH TIDAK LANGSUNG BERTEMU IBUK SAYA hehehe…
sampai bapak menertawakan sikap saya dan saudara-saudara saya. Pernah suatu
malam sepulang mengaji, di ruang tamu bapak duduk bersama temannya. Saya masuk
rumah mengucapkan salam, “Assalamu’alaykum…”, masuk hingga ruang tengah belum
nampak ibuk juga. Maka saya bertanya pada bapak. Kemudian bapak tertawa lantas
bercerita pada tamunya, “yo ngeneki lho pak anak-anakku. Goleki ibuknee ae”. “Beginilah
anak-anak saya, Pak. Nyari ibuknya terus”. Alhamdulillah ibu saya mempunyai
waktu yang sagat baaaaaanyak untuk anaknya.
No comments:
Post a Comment