Terkadang
banyaknya ilmu tidak memberi apa-apa bagi pemiliknya. Bertambahnya ilmu tidak
semakin menjadikan dirinya bijaksana dan dekat dengan kebenaran, tetapi malah
menjauhkannya dari Allah Ta’ala. Bagi
dirinya sendiri saja tidak menghantarkan kebaikan apalagi membawa manfaat bagi
kehidupan. Ilmu yang diperoleh malah menjerumuskan pada kehinaan.
Tidak ada kebaikan dalam ilmu yang
kita kuasai jika tidak ada berkah di dalamnya. Di antara tanda berkah, ilmu
yang kita pelajari mampu mendatangkan kebaikan yang bertambah-tambah(ziyadatul-khair). Kebaikan bagi siapa? Kebaikan
bagi dirinya sendiri maupun bagi kehidupan. Ia juga mampu menciptakan keterangan
dan ketentraman bagi pemiliknya. Inilah dambaan setiap Muslim, yaitu memperoleh
ilmu yang bermanfaat.
Bukankah Rasulullah SAW pernah
bersabda, “Apabila meninggal anak Adam,
terputuslah amalannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak yang saleh yang mendoakannya” (H.R. Muslim). ‘Ilmin yuntafa’u
bihi(ilmu yang bermanfaat) ternyata menjadi investasi di akhirat yang tak ternilai
harganya. itulah sebabnya kita diajarkan sebuah doa yang artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu ilmu-ilmu yang bermanfaat, amal-amal yang diterima, dan rezeki yang
halal dan baik” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah).
Keberhasilan selalu muncul dari
motivasi yang ikhlas. Demikian pula halnya dalam menuntut ilmu. Mereka yang
belajar dengan ikhlas, semata-mata ingin mencari keridloan Allah dan
kemanfaatan dari ilmu yang dipelajarinya, insyaallah, keberhasilan itu akan
mudah diperoleh.
Lain halnya dengan mereka yang
didorong oleh motif materi dan kebanggaan diri. Bahkan yang menyedihkan, tidak
sedikit di antara mahasiswa kita bertawakal kepada fakultas dan ijazah yang
membanggakan. Padahal, semestinya hanya pada Allah semata kita bertawakal. Memang
hukum sebab akibat merupakan sunatullah. Akan tetapi, bukan hanya ‘sebab’ yang
dapat menimbulkan akibat. Kadang kala ada sebab tetapi tidak ada akibat. Kita ambilkan
sebuah contoh sederhana. Ada dua orang yang sama-sama sakit. Dimasukan ke rumah
sakit yang sama, ditangani oleh dokter yang sama, dengan cara penanganan yang
sama. Akan tetapi, yang satu dapat sembuh sementara yang lainnya tidak.
Kasus yang sama bisa terjadi pada
mereka yang menempuh jalur pendidikan. Saya hanya ingin menegaskan bahwa
tawakal kita tidak ditujukan pada ikhtiar kita, tetapi semata-mata kepada Allah
Ta’ala.
Oleh karena itu, kita perlu
meluruskan niat ketika belajar. Ingatan kita langsung tertuju pada hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah r.a. beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang belajar untuk membanggakan
diri dengan ulama, atau untuk meenntang orang-orang jahil, atau untuk menarik
perhatian manusia agar tertuju kepadanya, Allah akan memasukkannya ke dalam
neraka Jahannam. (H.R. Ibnu Majah).
Saya pun teringat kata-kata
adz-Dzahabi, seperti dikutip Abu Anas Majid al-Bankani dalam bukunya Rihlatul ‘Ulama fi Thalabil ‘Ilmi. “Sesungguhnya
orang-orang salaf terdahulu menuntut ilmu karena Allah. Maka, mereka mulia dan
menjadi imam yang bisa dijadikan anutan.”
Tidak sekedar motifnya karena
mengharap keridloan Allah kita akan memperoleh keberkahan, cara kita mendapatkan
ilmu juga sangat berpengaruh. Kebiasaan menyontek saat ujian adalah salah satu
penyebab hilangnyan keberkahan ilmu. Digunakannya ilmu yang kita miliki untuk
bermaksiat kepada Allah juga dapat menyebabkan berkah berubah menjadi laknat.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan
dalam bukunya Jawabul Kafi. “Perbuatan
maksiat adalah faktor terbesar yang menghapus berkah usia, rezeki, ilmu, dan
amal.” Begitu besar efek yang ditumbulkannya. Betapa sering kita menyontek agar
memperoleh nilai bagus, tetapi apa gunanya semua itu ketika suatu saat nanti
ilmu dan ijazah kita tidak membawa manfaat apa-apa bagi kita. Naudzubillah min dzalik.
Alhasil, agar belajar kita berkah
ada tiga hal yang harus kita lakukan. Ketiga hal ini merupakan kesimpulan dari
paparan di atas.
1. Motivasi
yang ikhlas
Dalam Islam
faktor niat sangat penting. Dalam belajar motivasi yang harus melandasi adalah
mencari keridloan Allah, bukan karena dorongan motivasi lain. Motivasi yang
mendasari aktivitas belajar sangat menentukan cara kita memandang kehidupan. Lihatlah
mereka yang belajar karena terdorong untuk mendapat kerja. Apa pun dilakukan
sekedar memperoleh kerja. Kita senang digunakan, tetapi tidak pernah berpikir
untuk kreatif dan mandiri, meski kita memiliki ilmu.
2.
Belajr dengan sebaik-baiknya
Aktivitas belajar
harus dilakukan sebaik mungkin. Kalau toh ada tugas dari sekolah atau kampus,
maka setiap muslim semestinya mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Dia lakukan
dengan etos belajar dan profesionalitas yang tinggi. Kalau mau ujian, maka ia
persiapkan dengan sebaik-baiknya. Tidak pernah tebersit sedikit pun dalam
dirinya untuk menyontek, karena selain ia merupakan kemaksiatan, menyontek
tidak mengukur kemampuan kita sesungguhnya.
3. Pemanfaatan
hasil usaha(belajar) dengan tepat. Inilah unsur ketiga dalam memperoleh
keberkahan Allah. Setelah seorang Muslim berhasil melalui dua tahap sebelumnya,
yaitu motivasi yang ikhlas semata-mata mencari ridlho Allah, lalu belajar yang
rajin, gigih, dan disiplin, maka setelah mendapatkan ilmu dengan ditandai
dengan keberhasilan memperoleh gelar kesarjanaan bagaimana ia memanfaatkan
kesarjanaan dengan tepat. Apakah sekedar untuk kepentingan diri dirinya
sendiri( sekedar mencari uang dan kedudukan) atau dimanfaatkan untuk
kepentingan Islam dan umat Islam serta kepentingan masyarakat secara umum?
Inilh perkara mendasar kita dalam
belajar. Kesadaran inilah yang dimiliki oleh generasi salaf, ketika mereka
menuntut imu. Mereka berangkat dari motivasi yang benar, proses belajar yang
gigih dan disiplin, serta pikiran untuk memanfaatkan imu sebanyak-banyaknya
bagi kemaslahatan masyarakat dan Islam. Berangkat dari perkara inilah
kesuksesan kita dimulai.
referensi:
Budiyanto, Dwi. 2012. PROPHETIC KEARNING Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian.Yogyakarta. Proumedia.
No comments:
Post a Comment