Salman
adalah seorang anak yang hidup di pedalaman Kalimantan Barat, berbatasan dengan
Sarawak, Malaysia. Tinggal bersama adiknya, Salinah dan kakeknya. Kakek Salman
adalah seorang sukarelawan yang dahulu pernah berperang di perbatasan untuk
mengusir kulka yang datang dari Inggris membela Malaysia. Ayah Salman bekerja
di malaysia menjadi seorang pedagang. Sedangkan Ibu dan nenek Salman telah
meninggal dunia.
Ayah Salman telah bekerja di
Malaysia selama setahun dan sudah bisa membangun kedai sendiri disana. Bahkan
ayah Salman menikah lagi dengan perempuan Malaysia. Karena demi kemudahan hidup
disana ayah Salman harus menjadi warga negara Malaysia. Suatu hari ayahnya
pulang bermaksud mengajak Salman, adek dan kakeknya untuk pindah ke Malaysia.
Ayah salman beranggapan bahwa hidup mereka akan lebih sejahtera disana. Tetapi
Salman tidak mau pindah ke Malaysia, dia ingin tetap bersama sang kakek, karena
Kakek Salman ngotot sekali untuk tetap tinggal di kalimantan Barat. Meskipun
sinyal handphone tak ada, listrik pun belum tersedia. Kakek Salman tetap tidak
mau meninggalkan Indonesia, tanah airnya tercinta.
Di daerah pelosok tersebut terdapat
sekolah SD dengan hanya satu pengajar, yaitu bu Astuti, seorang guru cantik dari
kota yang bersedia mengabdi di pedalaman, untuk Indonesia tercinta. Sekolah
tersebut telah libur(tutup) selama setahun dan berjalan kembali setelah
kedatangan bu Astuti. Sehingga para siswanya telah lupa lagu kebangsaan
Indonesia, yaitu “Indonesia Raya”, dan lagu kebangsaan mereka entah apa
penyebabnya telah berganti menjadi “kolam susu”.
“bukan lautan tapi kolam
susu.
kail dan jala cukup
menghidupimu.
tiada badai tiada topan
kau temui.
ikan dan udang
menghampiri dirimu.
orang bilang tanah kita tanah
surga.
Tongkat kayu dan batu
jadi tanaman.
..............................................................”
Penduduk di pedalaman tersebut
menggunakan mata uang ringgit, bahkan anak-anak disana tidak mengenal uang
rupiah. Dokter Intel(sebenarnya namanya Anwar) yang baru datang ke Desa
tersebut sangat terkejut ketika Lized , anak SD kelas 4, salah satu teman
Salman mengira uang Rp 50.000 yang diberikan dokter Intel untuknya adalah uang palsu.
Dokter Intel adalah seorang dokter muda yang datang dari kota Bandung dan mempunyai
ketulusan untuk membantu warga disana.
Jarak tempuh desa ke Rumah sakit di
kota sangatlah jauh. Tarif naik perahunya pun mahal. Sehingga Salman harus
bekerja keras mengumpulkan uang untuk pengobatan kakeknya yang sakit. Salman
berjalan jauh sampai Sarawak untuk mengantar barang dagangan ke pasar, sampai
suatu hari Salman bertemu dengan seorang pedagang yang menggunakan kain merah
putih, bendera Indonesia menjadi alas dagangannya. Salman geram bukan main.
Pedagang tersebut tidak peduli kain apa yang telah ia jadikan sebagai alas
dagangan itu.
Suatu hari Salman pergi ke pasar itu
lagi untuk membelikan sarung kakeknya, tentu dengan uang hasil kerja kerasnya.
Salman memutuskan untuk membeli dua buah sarung untuk kakeknya. Di perjalanan
Salman melihat pedagang dengan kain merah putih menutupi dagangannya. Salman
mengejarnya, kemudian memberikan kain sarung baru itu untuk ditukarkan dengan kain
merah putih yang sudah sangat usang. Salman berlari pulang dengan sangat
bahagia sambil mengibarkan sang merah putih yang telah usang itu.
Suatu hari Salman membacakan puisi untuk pejabat pemerintah yang
mengunjungi sekolah yang terlewat sederhana itu.
KOLAM
SUSU
Karya:
Salman
“Bukan lautan tapi kolam
susu. Katanya.
Tapi kata kakekku, hanya
orang-orang kaya yang bisa minum susu.
Kail dan jala cukup
menghidupimu. Katanya.
Tapi kata kakekku,
ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara.
Tiada badai tiada topan
kau temui. Katanya.
Tapi kenapa ayahku
tertiup angin ke malaysia?
Ikan dan udang
menghampiri dirimu. Katanya.
Tapi kata kakek, awas ada
udang dibalik batu!
Orang bilang tanah kita
tanah surga. Katanya.
Tongkat kayu dan batu
jadi tanaman.
Tapi kata dokter intel,
belum semua rakyatnya sejahtera.
Banyak pejabat yang
menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri.”
Tepuk
tangan bergemuruh dari seluruh penonton, dokter Intel, bu Astuti, pak kepala
Dusun, dan teman-teman Salman.
film ini bagus :)
ReplyDeleteiya, jarang-jarang ada film yang mengangkat tema tentang nasionalisme. film ini juga menunjukkan pada saya bahwa betapa sudah bobroknya negeri kita
Delete