Tuesday 18 August 2015

# Buku

DI BALIK SIMBOL (Memahami Pesan Agama dengan Semangat Kemajuan)



Interaksi antar manusia memerlukan simbol. Simbol merupakan hasilkesepakatan orang-orang yang terlibat dalam interaksi itu. Supaya aman di jalan, pengendara memerlukan simbol. Supaya tampil modern, orang pakai dasi, dan supaya elegan, orang memakai jam tangana yang harganya sangat mahal. Supaya tampak alim,para santri pakai jubah dan kopyah atau bahkan sroban. Simbol-simbol itu penting untuk memudahkan orang berkomunikasi. Orang akan mngenal sesuatu melalui simbol.

Bagi institusi, simbol juga penting. Indoesia punya bendera merah putih danlambang burung Garuda. Muhammadiyyah punya simbol matahari. Masjid punya simbol menara. Simbol adlaah lambang kehormatan institusi. Ketika ada orang membakar bendera merah putih, rakyat Indonesia marah karena merasa dilecehkan. Ktika ada orang yang merobek-robek lambang matahari, warga Muhammadiyyah tersinggung.
Tetapi sering kali orang berhenti pda simbol, tanpa menangkap maknanya. Orang merasa kelas sosialnya terangkat ketika memakai jam tangan berharga mahal. Padahal dia sering tidak memanfaatkan jam itu untuk menepati waktu. Orang pakai baju batik berlambang matahri tapi tidak faham Muhammadiyyah. Orang sudah merasa Islami kalau berjenggot dan bercelana cingkrang, padahal tingkah lakunya sama sekali tidak Islami. Ini adlaah kepuasan hanya dengan simbol-simbol, tanpa makna substansial.
Simbol juga sering digunakan untuk menhegemoni. Van der Plas pada zaman penjajahan dulu berjubah untuk memudahkan memasukkan kepentingan penjajah Belanda di hati umat Islam. Dia tahu prang Islam memahami jubah sebagai simbol keislaman. Orang Islam tidak sadar bahwa Abu Jahal jga memakai jubah, pakaian adat bangsa Arab. Anehnya, banyak orang yang kemudian terhegemoni dengan simbol-simbol itu. Ada yang teman pinter ceramah, tapi honornya kecil. Lama-lama dia berpikir menggunakan gelar kiai haji. Ternyata ampuh, honornya naik. Barang yang sama ditambah simbol, harganya terkatrol.
Sesungguhnya simbol yang sama bisa memiliki makna yang berbeda, di tempat atau kurun yang berbeda. Pada zaman dulu, orang Majusi (Zoroaster) di Persia menyembah api, yang diletakkan di atas bangunan tinggi. Itulah yang disebut manarah, artinya tempat api, yang dalam bahasa disebut menara. Pada zaman Nabi Muhammad masjid belum punya menara. Ketika Islam telah menguasai Persia, barulah umat Islam mengadopsi menara sebagai simbol tempa ibadah Islam. Menara kemudian menjdi tempat adzan dikumandangkan. Simbol tetap sama tetapi maknanya bergeser. Yang dulu lekat dengan tempat ibadah kaum Majusi, lalu berubah menjadi simbol masjid.
Demikian uga dengan mihrab, yang sangat lekat dengan tradisi bangunan suci sejak zaman Romawi kuno. Kita ingat kisah Maryam, ibu Nabi Isa as, dlaam Al-Quran ketika berdiam diri di mihrab. Setelah agama kristen berkembang, mihrab merupakan simbol tempat ibadah orang Kristen. Pada zaman Nabi Muhammad, masjid belum punya mihrab. Al-Walid, salah seorng khalifah Bani Umayyah yang pusat kerajaannya berada di wilayah bekas kerajaan Romawi, membangun mihrab di dalam masjid. Makas ekarang, banyak masjid yang punya mihrab. Dulu, mihrab merupakan ciri khas tempat ibadah Nasrani, kemudians ekarang menjadi ciri khas masjid.
Demikian juga dengan kubbah. Di kota Los Angeles, adas ebuah bangunan besar yang dari kejauhan sudah tampak kubbahnya. Apalagi ada lambang bulan stabit di atasnya. Hati saya sempat berbunga-bunga karena mengira di kota non-Muslim ituadala sebuah masjid besar. Setelahsaya datang, ternyata itu adlah Shrine Building, milik komunitas Yahudi. Bangunan itu juga dikenal sebagai tempat acara yang bergengsi. Penganugerahan Grammi Awards, misalnya, sering diadakan di tempat itu.
Kita seringkali terkecoh dengan simbol-simbol ketakwaan, padahal sinterklas (Saint Claus) punya jengot lebat. Demikian juga orang Yahudi ortodoks. Banyak orang Islam merasa kurang afdhal kalu pergi ke masjid tidak pakai sarung, padahal orang-orang Budah di Myanmar suka memakai sarung. Kurang afdhal kalau berkhutbh jumah tanpa kopyah, padahal orang-orang Hindu di India juga suka memakai kopyah. Karena itu, tidak perlu ada sakralisasi simbol, karena simbol hanya berguna jika ada mana di balik simbol itu.
Sekalipun melekat, perlu dibedakan antara simbol dan makna, wadah dan isi, form dan matter. Bisa jadi simbol tetap sama tapi maknanya berbeda. Sebaliknya, simbol isa berubah tapi maknanya sama. Yang penting adalah kesepakatan. Banyak juga orang yang hanya tahu simbol tanpa tahu reasoning dan maknanya.mereka berjuang menegakkan simbol bahkan “menyembahnya” dengan setia. Mereka juga tidak merasa bahwa dirinya telah tertipu dengan simbol. Yang lebih celaka lagi jika mereka telah merasa mendapatan tiket surga dengan memperjuangkan simbol.

Sumber: buku “DI BALIK SIMBOL (Memahami Pesan Agama dengan Semangat Kemajuan) karya Syafiq A. Mughni.

No comments:

Post a Comment

Follow Instagramku