Interaksi
antar manusia memerlukan simbol. Simbol merupakan hasilkesepakatan orang-orang
yang terlibat dalam interaksi itu. Supaya aman di jalan, pengendara memerlukan
simbol. Supaya tampil modern, orang pakai dasi, dan supaya elegan, orang
memakai jam tangana yang harganya sangat mahal. Supaya tampak alim,para santri
pakai jubah dan kopyah atau bahkan sroban. Simbol-simbol itu penting untuk
memudahkan orang berkomunikasi. Orang akan mngenal sesuatu melalui simbol.
Bagi
institusi, simbol juga penting. Indoesia punya bendera merah putih danlambang
burung Garuda. Muhammadiyyah punya simbol matahari. Masjid punya simbol menara.
Simbol adlaah lambang kehormatan institusi. Ketika ada orang membakar bendera
merah putih, rakyat Indonesia marah karena merasa dilecehkan. Ktika ada orang
yang merobek-robek lambang matahari, warga Muhammadiyyah tersinggung.
Tetapi
sering kali orang berhenti pda simbol, tanpa menangkap maknanya. Orang merasa
kelas sosialnya terangkat ketika memakai jam tangan berharga mahal. Padahal dia
sering tidak memanfaatkan jam itu untuk menepati waktu. Orang pakai baju batik
berlambang matahri tapi tidak faham Muhammadiyyah. Orang sudah merasa Islami
kalau berjenggot dan bercelana cingkrang, padahal tingkah lakunya sama sekali
tidak Islami. Ini adlaah kepuasan hanya dengan simbol-simbol, tanpa makna
substansial.
Simbol
juga sering digunakan untuk menhegemoni. Van der Plas pada zaman penjajahan
dulu berjubah untuk memudahkan memasukkan kepentingan penjajah Belanda di hati
umat Islam. Dia tahu prang Islam memahami jubah sebagai simbol keislaman. Orang
Islam tidak sadar bahwa Abu Jahal jga memakai jubah, pakaian adat bangsa Arab.
Anehnya, banyak orang yang kemudian terhegemoni dengan simbol-simbol itu. Ada
yang teman pinter ceramah, tapi honornya kecil. Lama-lama dia berpikir
menggunakan gelar kiai haji. Ternyata ampuh, honornya naik. Barang yang sama
ditambah simbol, harganya terkatrol.
Sesungguhnya
simbol yang sama bisa memiliki makna yang berbeda, di tempat atau kurun yang
berbeda. Pada zaman dulu, orang Majusi (Zoroaster) di Persia menyembah api,
yang diletakkan di atas bangunan tinggi. Itulah yang disebut manarah, artinya
tempat api, yang dalam bahasa disebut menara. Pada zaman Nabi Muhammad masjid
belum punya menara. Ketika Islam telah menguasai Persia, barulah umat Islam
mengadopsi menara sebagai simbol tempa ibadah Islam. Menara kemudian menjdi
tempat adzan dikumandangkan. Simbol tetap sama tetapi maknanya bergeser. Yang
dulu lekat dengan tempat ibadah kaum Majusi, lalu berubah menjadi simbol
masjid.
Demikian
uga dengan mihrab, yang sangat lekat dengan tradisi bangunan suci sejak zaman
Romawi kuno. Kita ingat kisah Maryam, ibu Nabi Isa as, dlaam Al-Quran ketika
berdiam diri di mihrab. Setelah agama kristen berkembang, mihrab merupakan
simbol tempat ibadah orang Kristen. Pada zaman Nabi Muhammad, masjid belum
punya mihrab. Al-Walid, salah seorng khalifah Bani Umayyah yang pusat kerajaannya
berada di wilayah bekas kerajaan Romawi, membangun mihrab di dalam masjid.
Makas ekarang, banyak masjid yang punya mihrab. Dulu, mihrab merupakan ciri
khas tempat ibadah Nasrani, kemudians ekarang menjadi ciri khas masjid.
Demikian
juga dengan kubbah. Di kota Los Angeles, adas ebuah bangunan besar yang dari
kejauhan sudah tampak kubbahnya. Apalagi ada lambang bulan stabit di atasnya.
Hati saya sempat berbunga-bunga karena mengira di kota non-Muslim ituadala
sebuah masjid besar. Setelahsaya datang, ternyata itu adlah Shrine Building,
milik komunitas Yahudi. Bangunan itu juga dikenal sebagai tempat acara yang
bergengsi. Penganugerahan Grammi Awards, misalnya, sering diadakan di tempat
itu.
Kita
seringkali terkecoh dengan simbol-simbol ketakwaan, padahal sinterklas (Saint Claus) punya jengot lebat.
Demikian juga orang Yahudi ortodoks. Banyak orang Islam merasa kurang afdhal
kalu pergi ke masjid tidak pakai sarung, padahal orang-orang Budah di Myanmar
suka memakai sarung. Kurang afdhal kalau berkhutbh jumah tanpa kopyah, padahal
orang-orang Hindu di India juga suka memakai kopyah. Karena itu, tidak perlu
ada sakralisasi simbol, karena simbol hanya berguna jika ada mana di balik
simbol itu.
Sekalipun
melekat, perlu dibedakan antara simbol dan makna, wadah dan isi, form dan
matter. Bisa jadi simbol tetap sama tapi maknanya berbeda. Sebaliknya, simbol
isa berubah tapi maknanya sama. Yang penting adalah kesepakatan. Banyak juga
orang yang hanya tahu simbol tanpa tahu reasoning dan maknanya.mereka berjuang
menegakkan simbol bahkan “menyembahnya” dengan setia. Mereka juga tidak merasa
bahwa dirinya telah tertipu dengan simbol. Yang lebih celaka lagi jika mereka
telah merasa mendapatan tiket surga dengan memperjuangkan simbol.
Sumber: buku
“DI BALIK SIMBOL (Memahami Pesan Agama dengan Semangat Kemajuan) karya Syafiq
A. Mughni.
No comments:
Post a Comment